
Asal-usul Kapitalisme. Sejarah kapitalisme amatlah panjang dan beragam versinya. Benih-benih paham ini sebenarnya sudah diidentifikasi muncul pada masyarakat feodal yang tumbuh dan berkembang di daerah Babilonia, Mesir, Yunani, dan Kekaisaran Roma. Max Weber, penulis buku The Protestan Ethic of Spirit Capitalism, bahkan berkata bahwa akar kapitalisme dimulai dari sistem Codex Iuris Romae, sebuah pemahaman aturan ekonomi yang digunakan oleh kaum trader di Eropa, Asia Timur dan Barat, serta Afrika Utara. Meski disebut aturan, Codex Iuris Romae ini hanyalah metode yang dipakai untuk memapankan sistem pertanian feodal. Aturan ini pula yang melahirkan istilah borjuis, yang biasa digunakan untuk memanggil golongan tuan tanah—yang terdiri dari para bangsawan dan kaum rohani-biarawan. Benjamin Franklin juga tidak mau ketinggalan mendukung Weber, bahkan ialah sosok yang memopulerkan kata-kata “Time is Money”.
Kaum merkantilis, yakni para pedagang yang biasa memusatkan diri di Genoa, Venice, dan Pusa, juga mengenal sistem kapitalisme sebagai tata cara dan kode etik. Mereka menggunakannya sebagai level berikutnya dari sistem sosial ekonomi yang dibentuk—bagaimanapun formasi ekonomi dan politik yang ada membutuhkan hukum dan etika. Terjadilah persaingan, kompetisi, dan aturan main barter serta perdagangan meruak dengan aroma kapitalis di kalangan merkantilis pada abad pertengahan. Saat ada opini berkembang tentang pasar dan penjualan, mereka kerap membahasnya dengan menyebut-nyebut komoditas dan nilai lebih—yang diistilahkan the surplus value. Mau tidak mau, atmosfir keuntungan dan perebutan uang pun tercipta, mengintegral bersama dunia perdagangan yang mereka kelola, menyebar ke mana pun para pedagang merkantilis pergi.
Namun tepatnya kapan kapitalisme benar-benar terlihat, para ahli sepertinya berbeda pendapat. Salah satunya mengatakan kapitalisme muncul di Eropa Barat pada tahun 1492 saat Christopher Colombus mengklaim menemukan benua Amerika. Prestasi Colombus diikuti dengan penemuan jalur jalan laut langsung ke India oleh Vasco da Gama. Selain itu, pelayaran-pelayaran yang dilakukan negara-negara lain juga berhasil mengantarkan mereka pada penemuan daratan-daratan “baru” seperti Indonesia, Hongkong, dan sebagainya. Segera setelah menemukan ladang yang jauh lebih kaya dari negeri mereka, para negara seperti Portugis, Spanyol, Belanda, Perancis, dan Inggris, mengeruknya lewat jalan pemaksaan dan peperangan.

Menurut catatan sejarah, Spanyol dan Portugis sampai harus “ribut” membicarakan Amerika. Sebelum perjanjian Tordesillas yang membagi wilayah jajahan mereka, keduanya berebut menguras kekayaan yang ada di tanah Amerika. Di Asia Tenggara, mereka kembali bertengkar—kali ini ditambah Belanda. Spanyol lalu dikisahkan menduduki Kesultanan Manila; Portugis di Malaka, Ternate, dan Timor; sedang Belanda, di tahun 1619, mencaplok Jawa dengan menjajah Batavia lewat VOC-nya.

Tidak hanya memberikan ruang tidak terbatas bagi para penguasa modal dan uang, kapitalisme juga menjadikan mereka seperti tuhan baru—karena kebijakan merekalah yang didengar, sedangkan agama disingkirkan jauh-jauh dari bisnis dan pasar. Sekulerisme pun tercipta, mendidik orang-orang dunia untuk berpendapat bahwa agama tidak berhak masuk ke dalam ekonomi, ia sama sekali tidak ada hubungannya dengan ekonomi, bahwa aktifitas bisnis dan membangun kekayaan adalah wilayah baru yang agama tidak memiliki konsep dan mampu mengaturnya.
Dengan demikian, sangat wajar bila pada akhirnya kapitalisme mempunyai tiga karakter dasar yang sangat kental. Kapitalisme berarti eksploitasi besar-besaran dan habis-habisan terhadap sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Mereka mempekerjakan orang-orang kecil untuk digaji kecil, sedang keuntungan terbesar masuk ke kantong mereka. Kapitalisme juga berarti ekspansi, pelebaran wilayah jamahan, pelebaran pasar, merangsek pelan-pelan ke daerah-daerah baru, untuk mengambil sumber-sumber apa pun untuk dikelola dan digunakan untuk mendatangkan keuntungan materi. [diolah dari unitomo.ac.id]
0 komentar:
Post a Comment